Rabu, 21 Mei 2014

Dilanku. Dia Adalah Dilanku Tahun 1990 (Karya Pidi Baiq)



Dilanku. Dia Adalah Dilanku Tahun 1990


Untuk Milea Adnan Hussain
Dari aku, Pidi Baiq
















1

Namaku Milea. Milea Adnan Hussain. Jenis kelamin perempuan, dan tadi baru selesai makan jeruk. Nama belakangku, di ambil dari nama ayahku. Seseorang yang aku kagumi, dan dia adalah TNI Angkatan Darat yang bertugas di Kodiklat. Dia lahir di Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat.

Sejak kecil aku tinggal di Jakarta, yaitu di daerah kawasan Slipi. Tahun 1990 ayahku dipindah tugas ke Bandung, sehingga ibuku, aku, adik bungsuku, pembantuku, dan semua barang-barang di rumah pun jadi pada ikut pindah.

Rumahku, yang di Buah Batu, adalah milik kakekku, Bapak Abidin, yaitu ayah dari ibuku. Tapi kakek sudah meninggal pada bulan Mei tahun 1989. Di rumah itu, jadi cuma ada nenek, karena ibuku adalah anak tunggal.

Kabar bahwa kami mau pindah ke Bandung, membuat nenek sangat senang dan meminta kami untuk tinggal di rumahnya. Tapi sayang, tahun 1990, kira-kira sebulan sebelum pindah, nenekku meninggal dunia.

Rumah yang berukuran type 70 itu, kemudian jadi milik ibuku sepenuhnya. Ada halaman di depannya, meskipun ukurannya tidak luas, tapi cukup. Tempat tumbuh berbagai bunga dan satu pohon jambu, yaitu jambu batu, yang ibuku suka kesel kalau sudah mulai banyak ulatnya.

2

Aku juga pindah sekolah, ke SMA Negeri yang ada di Bandung. Bagiku, itu adalah sekolah yang paling romantis sedunia, atau kalau enggak, minimal se-Asia lah. Bangunannya sudah tua, peninggalan Belanda, tapi masih bagus karena keurus.

Ada tumbuh pohon besar di halaman sekolah. Cabangnya banyak dan bagus kalau dilihat senja hari, dan juga siang, kalau mendung, dan juga pagi, kalau mau. Sebagian orang percaya pohon itu berhantu, tapi aku gak takut, kecuali kalau harus tidur sendirian malam hari di situ.

Dulu, jalan di depan sekolahku, cuma jalan biasa, lebarnya kira-kira tiga meter dan belum banyak kendaraan yang lewat, termasuk angkot. Sehingga untuk bisa sampai di sekolah, aku harus mau berjalan sepanjang kira-kira 200 meter, yaitu setelah aku turun dari angkot di daerah pertigaan jalan itu.

Sekarang jalan itu, sudah berubah, sudah jadi jalan raya yang dipadati oleh banyak kendaraan. Dulu, motor juga belum banyak. Hanya beberapa orang saja yang pakai. Sebagian besar berpergian dengan angkot atau bemo.

Rasanya, waktu itu, Bandung masih sepi, belum begitu banyak orang. Setiap pagi masih suka ada kabut dan hawanya cukup dingin, seperti menyuruh orang untuk memakai sweater atau jaket kalau punya.

Selain romantis, sekolah itu adalah tempat yang banyak menyimpan kenangan. Terutama menyangkut dengan seseorang yang sangat aku cintai, yang pernah selalu mengisi hari-hariku di masa lalu, yang malam ini, ingin kuceritakan kepadamu.

Akan aku tulis semuanya sesuai dengan apa yang terjadi, meskipun tidak begitu detail, tapi itulah intinya. Ada nama tempat dan nama orang yang sengaja kusamarkan, untuk tidak merembet menjadi suatu persoalan dengan pemilik tempat dan orang yang bersangkutan.

Semua, akan kutulis dengan menggunakan cara si dia di dalam bergaya bahasa. Entah gaya apa, pokoknya, kalau dia bicara pun, bahasa Indonesianya cenderung agak baku. Terdengar sedikit tidak lazim, seperti bahasa melayu lama yang biasa digunakan oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Tapi itu bukan hal yang harus dipersoalkan, ini cuma sekedar agar bisa sekaligus mengenang khas dari dirinya.

Sebelumnya, aku mau cerita dulu di mana posisiku sekarang. Malam ini aku sedang di ruang kerjaku bersama hot lemon tea dan lagu-lagu Rolling Stones, di kawasan Jakarta Pusat, di rumah yang aku tempati bersama suamiku sejak tahun 1997.

Malam ini, tanggal 11 September tahun 2010. Anakku sudah tidur. Dia lelaki dan masih berusia 10 tahun. Sedangkan suamiku, dia belum pulang, katanya ada kerjaan kantor yang membuat dia harus lembur.

Mari kita mulai, dan inilah ceritanya:

3

Pagi itu, di Bandung, pada bulan September, tahun 1990, setelah turun dari angkot, aku jalan menuju sekolahku sebagaimana yang lainnya yang juga sama begitu. Bedanya, aku jalan sendirian, yang lain ada yang berdua atau lebih.

Dari arah belakang, aku mendengar suara motor. Suaranya agak berisik dan yang bisa kuingat di masa itu, belum begitu banyak siswa yang pergi sekolah dengan memakai motor.

Ketika motor itu sudah mulai sejajar denganku, jalannya melambat. Seperti sengaja ingin menyamai kecepatanku berjalan. Pengendaranya menggunakan seragam SMA.

Meskipun saat itu banyak orang yang pada mau pergi sekolah, aku tetap waspada, kuatir barangkali dia mau berbuat buruk kepadaku. 
Dia bertanya:

"Selamat pagi."
"Pagi." kujawab, sambil menoleh kepadanya sebentar.
"Kamu Milea, ya?"
"Eh?" kutoleh dia, memastikan barangkali aku kenal dirinya. Nyatanya tidak, lalu kujawab: 
"Iya."
"Boleh gak aku meramal?"
"Meramal?" Aku langsung heran dengan pertanyaannya. Kok meramal? Kok bukan kenalan?
"Iya. Aku ramal, nanti kita akan bertemu di kantin."

Dia pasti ngajak bercanda. Aku gak mau. Tapi aku tidak tahu harus jawab apa. Hanya bisa senyum, mungkin itu cukup, sekedar untuk berbasa-basi. Jangan judes juga. Iya.

Asli, aku gak tahu siapa dia. Betul-betul gak tahu. Mungkin satu sekolah denganku, tapi aku belum mengenal semua siswa di sekolahku, termasuk dirinya. Aku hanya murid baru. Baru dua minggu.
"Mau ikut?" dia nanya.
"Makasih," jawabku. Enak aja, belum kenal sudah ngajak semotor. Kupandang dia, sebentar:
"Udah deket." lanjutku.
"Oke," katanya. "Suatu hari, Milea, kamu akan naik motorku. Percayalah."
Aku diam, karena gak tahu aku harus bilang apa.
"Duluan ya!" katanya.
Kupakai bahasa wajah, untuk mengungkap kata "iya". Habis itu dia berlalu, memacu motornya. Nampak baju seragamnya berkelabatan, kalau guru tahu, pasti akan di suruh dimasukin ke celana.

4

Waktu istirahat, tadinya aku mau ke kantin, tapi sama sekali bukan untuk memenuhi ramalan anak itu. Boro-boro, kepikiran juga enggak. Aku hanya ingin membeli sesuatu untuk kuminum. Tapi Nandan, teman sekelas Ketua Murid kelas 2 Biologi 3, minta waktu ingin ngobrol denganku, katanya ada yang mau di bahas.

Dia bilang, kalau aku mau minum, gampang, biar dia saja yang beli. Makasih kataku, dan memang, dia lalu pergi ke kantin. Tak lama dia kembali, membawa beberapa teh kotak.

Di kelas, selain Nandan, ada juga Rani dan Agus, semuanya teman sekelas. Hal yang di bahas adalah tentang keinginan mereka untuk menunjuk aku menjadi sekertaris, dan juga sekaligus menjadi bendahara kelas 2 Biologi 3. Aku sih oke saja. Bagiku, gampang lah itu.

Waktu kami sedang ngobrol, muncul seseorang yang bilang permisi dan lalu masuk ke kelas. Nandan, Rani dan juga Agus, tahu siapa dia. Namanya Piyan, siswa dari kelas 2 Fisika 1, datang memberiku surat, katanya itu surat titipan dari kawannya, tapi tidak disebut nama kawannya.

Dengan sedikit rasa heran, setelah piyan berlalu, kubaca surat itu:
"Milea, ramalanku, kita akan ketemu di kantin, ternyata salah. Maaf. Tapi aku mau meramal lagi: Besok kita akan ketemu."

Aku langsung bisa tahu siapa yang ngirim surat. Ini pasti dia, orang yang tadi pagi naik motor dan bilang mau meramal. Nandan nanya, dia ingin tahu surat apa, aku bilang cuma surat biasa.

Surat itu, segera kulesakkan dalam tas sekolah, untuk kembali menyimak Nandan yang banyak bicara tentang ini itu yang menurutku membosankan. Tapi aku sudah tidak bisa lagi konsentrasi dengan kata-kata mereka. Pikiranku, entah mengapa, sebagian besar, mendadak melayang kepada Sang Peramal.

5

Hari itu hujan, aku pulang di jemput pamanku. Dia itu adik dari ayahku, mahasiswa tingkat akhir di perguruan tinggi swasta, namanya Fariz. Dia sudah lama di bandung dan kost di daerah Setiabudi.

Ayah nyuruh paman menjemputku, supaya bisa lekas datang ke rumah dinas ayahku, karena ada sedikit keperluan. Di jalan pulang, entah mengapa, ramalan orang itu: bahwa besok akan bertemu, terus saja kepikiran.

Apa? Besok? Hah, besok bertemu? Bukankah besok itu hari minggu? Aku langsung bisa nebak: ramalannya sudah pasti gagal lagi. Bagaimana bisa bertemu, kalau tidak di sekolah? Dia, ah, cuma tukang ramal amatir!

Bagiku, tak lebih, dia hanya anak nakal, yang suka iseng menggoda cewek. Huh!
Jika itu baginya adalah modus untuk mendekati diriku, dia harus tahu aku orangnya selektif.

6

Di hari minggu, waktu sedang nyuci sepatuku, aku mendengar bel rumah berbunyi, karena di pijit oleh tamu. Aku teriak manggil si Bibi untuk meladeni tamu itu.

Kebetulan, hari itu, di rumah, hanya ada aku dan si Bibi. Ayah, ibu dan adik bungsuku sedang pergi ke acara pernikahan saudara. Si Bibi bergegas nemui tamu dan lalu balik kembali menemuiku:

"Tamu," katanya. "Mau ke Lia." kata si Bibi. Lia itu nama panggilanku di rumah.

Aku bersihkan tanganku dari busa dan langsung ke sana, nemui tamu itu. Ya tuhan, aku kaget, ternyata tamunya adalah dia: Sang Peramal. Aku senyum kepadanya yang tersenyum kepadaku. Berasa seperti sedang terjadi kontak batin, antara aku dengannya, membahas ramalannya yang benar-benar terjadi.
"Hei." kusapa dia.
"Ada undangan," dia langsung bilang begitu, seraya menyodorkan sebuah amplop sambil masih berdiri disitu, di depan pintu.
"Undangan apa?" kupandangi amplop itu.
"Bacalah," katanya "Tapi nanti."
"Oke."
"Bacalah, bahasa arabnya apa, yan?"
Dia nanya ke si Piyan yang datang bersamanya.
"Apa ya?" Piyan balik nanya.
"Oh! Iqra," dia jawab pertanyaannya sendiri: "Iqra, Milea!" katanya lagi.
"He he he." Aku ketawa tapi sedikit. Entah mengapa, hanya bisa sesekali saja kupandang matanya.
"Aku langsung ya?" dia permisi untuk pergi.
"Kok tahu rumahku?" kutanya.
"Aku juga akan tahu kapan ulang tahunmu."
"he he he."
"Aku pergi dulu ya?"
"Iya."
"Assalamu 'alaikum jangan?!" dia nanya.
"Assalamu 'alaikum," jawabku.
"Alaikum salam," katanya.
"He he he."

7

Aduh, Tuhan, siapa sih dia itu!
Maksudku, selain seorang Peramal, aku ingin tahu siapa dia itu sesungguhnya, dan mengapa tadi aku harus gugup di depannya?

Aku masuk kamar dan senyum sendiri terutama karena memikirkan soal ramalannya yang benar. Tapi kenapa dia tidak membahasnya? Membahas soal ramalan? Atau sengaja? Entahlah. Aku baca surat undangan darinya sambil selonjoran di atas kasur.

Itu adalah surat undangan yang ditulis dengan mesin tik di atas kertas HVS. Aku langsung bisa nebak, surat itu dia bikin sendiri: 
"Bismillahirrahmanirrahim. Dengan Rahmat Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Dengan ini, dengan penuh perasaan, mengundang Milea Adnan untuk sekolah pada: Hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat dan Sabtu."  Semua nama hari-hari itu, disertai dengan tanggal.

Di dalam surat itu ada nama: Tuan Hamid Amidjaya. Itu kepala sekolahku, sebagai orang yang turut mengundang. Di tiap sisi kertas, ada gambar hiasannya. Dibikin pake spidol. Gambarnya bagus. Entah bikinan siapa.

Setelah kubaca, aku tak mengerti mengapa langsung merasa tak ingin pergi dari atas kasurku, benar-benar seperti orang yang sedang ditawan oleh rasa penasaran karena ingin tahu siapa dia sebenarnya.

Sambil tiduran, aku jadi seperti orang yang sedang menerawang, memandang atap kamarku. Ketika ada terbayang wajahnya, langsung kupejamkan mataku, agar dengan begitu aku bisa mengusirnya, karena aku merasa itu gak perlu. Gak penting!

Ah, sial. Itu hampir membuat aku lupa untuk melanjutkan tugas nyuci sepatu. Segera kusimpan surat itu, di dalam laci meja belajar, sambil senyum-senyum sendirian, dan langsung pergi ke kamar mandi, menemui sepatuku.

Kucuci sepatu itu dengan pikiran yang penuh dengan dirinya, dan berusaha kulupakan dengan cara menyanyi. Tapi susah, tetap saja kepikiran meskipun sesekali. Aduh, hai, siapa sih dia itu?

Setahuku dia satu sekolah denganku, tapi tidak sekelas denganku. Cuma itu. Itu saja. Tapi aku tidak tahu siapa namanya. Kenapa dia tidak memberitahu namanya di saat pertama jumpa itu? Haruskah aku yang nanya? Oh sorry ya, gak mau!

Kudengar telepon rumah berdering. Aku senang, karena itu dari Beni, pacarku di Jakarta. Dia satu sekolah denganku waktu masih di Jakarta, dan sekarang kami menjalin pacaran jarak jauh.

Beniku keren, kau harus tahu itu. Dia tampan, meskipun tidak tampan-tampan amat, tapi cukup dan dia sangat baik.
Ayahnya seorang artis film terkenal, yang kadang-kadang suka aku banggakan kepada ayah ibuku.

Beni sangat menyayangiku. Aku juga begitu kepadanya. Meskipun sesekali suka bertengkar, tapi cuma masalah kecil, dan selalu bisa diselesaikan dengan baik. Hampir setiap hari, Beni selalu menelponku untuk melepas rasa rindu dan hal lain sebagainya.

8

Hari senin, di tengah-tengah barisan siswa yang ikut upacara, aku berharap tidak ada satupun orang tahu bahwa diam-diam mataku mencari dirinya, meskipun aku sendiri tidak tahu untuk apa juga kucari. Mungkin cuma ingin lihat saja. Tidak lebih dari itu.

Sampai upacara sudah mau selesai, orang itu, Peramal itu, tak berhasil kutemukan. Di mana dia? Hatiku bertanya. Jangan-jangan tidak sekolah? Aku tidak tahu. Ah, ngapain juga kupikirin! Emang siapa dia?

Seorang guru, dengan menggunakan speaker, tiba-tiba, memberi komando, agar seluruh siswa jangan dulu bubar dari barisan. Kupandang ke depan karena ingin tahu ada soal apa gerangan, oh saat itulah aku bisa melihat dirinya.

Dia dia sana, di depan, menghadap ke arah kami, bersama dua kawannya. Berdiri di sana karena dibawa oleh guru BP, setelah berhasil ditemukan dari tempatnya sembunyi, untuk menghindar ikut upacara bendera.

Dia dan dua orang temannya disebut Komunis oleh guru BP. Aku tidak mengerti apa sebabnya seseorang sampai disebut Komunis hanya gara-gara tidak ikut upacara. Entahlah.

Nun di sana, di tempatnya berdiri, aku yakin, dia sedang menyadari bahwa ada seseorang di tengah barisan peserta upacara, yang sedang memandangnya, yaitu diriku. Atau tidak?

Tapi yang pasti, sebagaimana yang lain, aku sedang memandangnya dari jauh, dengan perasaan yang sulit kumengerti.
"Dia lagi!" bisik Revi seperti ngomong sendiri. Dia teman sekelas, yang berdiri di sampingku.
"Siapa dia?" kutanya Revi.
"Dilan"
"Oh"

Dilan itu, adalah yang kemaren datang ke rumah, senyam-senyum depan pintu. Komunis itu, adalah yang pernah nyuruh si Piyan ngirim surat ke aku. Anak nakal itu, adalah yang kemaren sempat membuatku penasaran karena ingin tahu lebih jauh tentang dirinya.

Mendadak, hari itu, aku bagai malu sendiri bahwa aku pernah ada sangkut paut dengan dirinya. Mendadak, aku bagai menyesal karena sudah merasa terhibur oleh surat undangannya.

Sampai-sampai kalau misal ada orang yang nanya, apakah Milea kenal Dilan? Aku yakin, aku akan langsung pura-pura tidak tahu. Apakah Milea teman Dilan? Entah mengapa segera akan langsung kujawab: Bukan. Aku hanya mengenal Beni, pacarku! Beniku baik dan tidak nakal, malahan guru-guru banyak yang suka kepadanya walau entah karena apa.

Kata Rani, di kelas, setelah upacara, Dilan itu anak kelas 2 Fisika 1 dan anggota geng motor yang terkenal di Bandung. Jabatannya Panglima Tempur. Oh ya ya. Aku sering membaca namanya ditulis di tembok-tembok pake pilox. Oh dia ternyata!

Aku betul-betul jadi takut. Dia pasti sangat nakal, dan juga mungkin jahat. Meskipun aku yakin, dia tidak seperti yang kuduga. Lagi pun kalau benar dia begitu, mengapa juga harus takut, toh siapa pun dirinya, ayahku seorang tentara, yang akan siap menembaknya jika harus.

Pokoknya, mulai besok, aku harus waspada seandainya dia berusaha mendekati, meskipun tidak harus kasar kepadanya. Dan tidak perlu terlalu menanggapi apa pun yang ia lakukan padaku, jika hal itu adalah bagian dari usahanya untuk melakukan pendekatan.

Kalau dia ingin jadi pacarku, katakanlah begitu, aku yakin dia akan minder setelah tahu siapa Beni. Dilan pasti akan mundur dari pada harus kecewa karena cinta yang tak sampai.

9

Bubar dari sekolah, cuaca mendung, aku pulang bersama kawan-kawan. Ada Dilan yang menyusulku dengan motornya. Aku langsung bisa yakin dia pasti akan mengajak aku pulang bersamanya naik motor. Nyatanya tidak, padahal aku sudah menyiapkan berbagai alasan untuk bisa menolaknya.

"Kamu pulang naik angkot?"
Kujawab dengan anggukan. Entah mengapa, saat itu, aku seperti gak enak dilihat kawan-kawan sedang di dekati oleh dia, si anak nakal.
"Aku ikut...."
"Ikut apa?" tanyaku tanpa menoleh kepadanya, tapi bagian sudut mataku berusaha melihat ke arahnya.
"Naik angkot."
"Gak usah." jawabku sambil memandangnya sebentar.
"Kan angkot buat siapa aja."
"Kamu kan naik motor?"
"Nanti motorku dibawa kawan."
"Eh?"

Lalu dia pergi. Kutengok sebentar ke belakang, dia datang lagi dengan sedikit berlari. Aku tak ingin tahu disimpan di mana motornya. Itu bukan urusanku, termasuk kalau hilang.

Di angkot, dia duduk di sampingku. Aku benar-benar jadi kikuk, dan juga mati gaya.
"Ini hari pertama, aku duduk denganmu."

Tidak kurespon, karena memang gak perlu. Kuambil buku, lalu kubaca. Mudah-mudahan bisa membantu mengalihkan pikiranku kepadanya. Mudah-mudahan bisa membantu membuat dia mengerti untuk jangan mengganggu orang yang sedang baca.

Tapi dia berbisik, suaranya kudengar pelan sekali menyebut namaku:
"Milea."
Aku diam untuk tidak menanggapi.
"Kamu cantik." katanya lagi dengan suara yang pelan tanpa memandangku.
Heh? Aku kaget. Serius, hampir-hampir tak percaya dia akan bicara begitu. Aku bingung harus gimana dan berusaha memastikan bahwa kawan-kawanku di angkot, tidak mendengar apa yang dia katakan. Aku merasa seperti malu.
"Makasih." akhirnya kujawab sambil tetap baca buku, dengan intonasi yang datar, tanpa memandang dirinya. Dengan suara yang pelan bagai berbisik, kudengar dia bicara:
"Tapi, aku belum mencintaimu," katanya. "Enggak tahu kalau sore."
Ih! suaranya pelan, tapi rasanya seperti petir. Aku diam, tidak mau merespon omongannya.
"Tunggu aja." katanya lagi.
Betul-betul, saat itu, rasanya ingin teriak, tepat di kupingnya: Apa sih kamu ini?!
Tapi tidak kulakukan. Aku memilih diam dan bersikap berusaha tidak akrab dengannya. Habis itu, dia juga diam.
"Aku ramal, kamu akan segera tahu namaku."
Udah tahuuu! Gak usah diramal-ramal.
Udah tahu! Tapi kujawab:
"Iya."

Ketika sudah sampai, aku turun dari angkot, dan langsung kaget, karena dia juga turun. Aku nyaris merasa kuatir dia akan mampir ke rumahku. Jika benar, aku akan langsung melarangnya. Jangan sampai terjadi!

Syukurnya tidak. Dia pamit pergi, dan lalu nyebrang jalan, untuk naik angkot lagi, menuju arah sekolah. Aku ramal, dia ke sana pasti mau mengambil motornya.

Tadi, sebelum dia pergi, dia sempat bilang:
"Kamu tahu, Milea, semua siswa itu sombong?"
"Kenapa?" tanyaku.
"Siapa yang mau datang ke ruang BP, menemui Pak Suripto? Cuma aku, Milea!"
"Ooh!" aku senyum, tapi sedikit.

Ketika dia pergi, muncul perasaan bersalah sudah bersikap judes kepadanya. Pastilah dia sedih. Pastilah dia kesal. Dan besok, mungkin dia kapok.

Sesampainya di rumah, si Bibi memberiku surat. Itu surat yang terbungkus dalam amplop warna ungu. Oh, surat dari Beni!

10

Kubaca surat dari Beni sambil terus kepikiran soal Dilan yang mungkin hari ini sudah kecewa dengan sikapku. Apa salahnya dia, Milea? Mengapa hari ini kau begitu, padahal baru kemaren engkau tersenyum kepadanya dan sedikit terhibur oleh surat undangan yang dia berikan padamu?

Aku simpan surat dari Beni, surat yang penuh kata-kata mendayu berisi melulu soal cinta dan rindu itu. Heran, biasanya aku senang, entah mengapa, hari itu, aku merasa seperti sedang berubah di dalam menilainya: Ah, Beni kurang asik!
Maksudku, mungkin aku merasa bosan dengan dia yang terlalu monoton!

Si Bibi ngetuk pintu, manggil, untuk nyuruh aku makan. Aku keluar dari kamar dengan isi kepala yang mulai dikacaukan oleh pikiran tentang omongan Dilan di angkot tadi:
"Milea, kamu cantik. Tapi aku belum mencintaimu. Enggak tahu kalau sore. Tunggu aja."

Kata-kata aneh, yang sudah membuatku tersenyum dan yang terus nempel di kepalaku sampai malam harinya. Di kamar, tiba-tiba ku ketawa, dan teriak dalam hati, seolah-olah hal itu kutujukan padanya: Mau cinta mau enggak, dengar ya, hai kau yang bernama Dilan: Terseraaaaaahhh! Itu urusanmu! Emang gue pikirin!?

Setelah usai shalat isya, aku dapat telepon dari Beni. Dia bicara lama sekali. Atau sebentar? Tapi entah mengapa aku merasa itu sangat lama. Dan katanya, dia mau ke Bandung, nanti, minggu depan.

"Kamu senang?" Beni nanya apakah aku senang jika dia ke Bandung menemuiku?
Kujawab:
"Iya."

Memang, harusnya aku senang, Beni.
Oke, kalau begitu, baiklah, aku akan berusaha untuk senang.

11

Itu hari selasa, ketika aku mendapat surat dari Dilan. Entah bagaimana Dilan bisa nitip suratnya ke Rani. Isi suratnya pendek:
"Pemberitahuan: Sejak sore kemaren, aku sudah mencintaimu - Dilan!"

Aku seperti terkesiap membacanya. Lalu dengan cepat, langsung kututup surat itu.

Jadi malu sendiri rasanya, dan berharap Rani tidak sudah membacanya. Kayanya belum, karena surat itu dimasukan ke dalam amplop yang tertutup.

Aku hanya kuatir orang-orang akan tahu apa isinya. Lalu dengan cepat kumasukan ke dalam tas, seolah dengan itu bisa kujejalkan sampai masuk sedalam mungkin.

Dia, menurutku, hari ini, harus bertanggung jawab, karena sudah berhasil mengganggu konsentrasi belajarku.

12

Di kantin, pada waktu istirahat, aku duduk satu meja dengan Nandan, Dito, Jenar dan Rani. Masing-masing makan batagor sambil bicara ini itu yang gak perlu. Mereka semuanya teman sekelas, kecuali Jenar, dia anak kelas 2 Sosial.

Dilan pasti di sana, bersama kawan-kawannya, di warung bi Eem. Aku belum pernah makan di sana, selain cuma lewat setiap pergi dan saat pulang sekolah.

Warung kecil, kira-kira 30 meter dari sekolah, di samping gereja Pantekosta. Huh! Aku juga tahu, kenapa kamu milih ke sana. Biar bisa merokok.

13

Aku mau cerita tentang yang lain yang bukan Dilan. Ini tentang Nandan. Nandan Hadi Prayitno. Kata Rani, Nandan naksir aku, tapi aku cuma senyum mendengarnya, karena soal itu sudah lama aku tahu.

Aku bisa membaca bagaimana sikap dan perilaku Nandan kepadaku. Bagiku, semuanya, termasuk suka nelepon malam hari nanya-nanya soal PR, neraktir kami makan di kantin, berusaha membuatku ketawa dengan aneka macam lawakan, itu adalah modus, untuk mencari perhatianku.

Aku setuju, kalau ada yang bilang Nandan baik. Dan, kalau aku boleh jujur, Nandan lebih tampan dari Dilan. Nandan juga humoris, jago basket, dan lain-lain, pokoknya Nandan adalah lelaki idaman tiap wanita.

Nandan juga masih jomblo, masih belum punya pacar. Pernah sih dekat dengan Pila, anak kelas 2 Sosial, tapi gak tahu kenapa, belakangan hubungan mereka jadi renggang.

14

Sumpah, aku terkejut, pas kulihat ada Dilan. Dia datang ke kantin bersama dua orang yang belum kutahu namanya. Entah bagaimana perasaanku saat itu, sangat sulit ku ungkapkan. Aku hanya tahu aku menjadi salah tingkah.

Dia mendatangi meja kami, dan menyapaku:
"Hei, Milea!"
"Hei, Dilan."
"Cuma nyapa."
Lalu dia pergi bersama kedua temannya, entah kemana, mungkin ke kelas, tapi sebelum pergi, dia bicara ke Nandan:
"Eh, Dan, kamu tahu gak?"
"Tahu apa?"
"Aku mencintai Milea?"
"He he he." Nandan tersenyum sambil sekilas memandangku. Rani, Dito dan Jenar, semuanya ketawa. Mukaku pasti merah.
"Tapi malu mau bilang." kata Dilan lagi.
"Itu, sudah bilang? he he." Nandan ketawa kecil.
"Aku kan bilang ke kamu, bukan ke dia."
"Dia denger kan?" tanya Nandan.
"Mudah-mudahan."

Dilan pergi. Bisa kubaca mata Nandan, kayanya dia merasa keganggu oleh kata-kata Dilan. Bisa jadi itu cuma tebakanku saja. Aku bukan ahli membaca bahasa tubuh. Cuma aku yakin, Nandan tidak suka dengan Dilan, sejak itu, sejak dia tahu Dilan menyukaiku. Mencintaiku.

15

Setelah istirahat selesai, kami masuk lagi ke kelas untuk ikut pelajaran lainnya. Kamu tahu kemana Dilan? Dilan masuk ke kelasku, dan duduk di bangku sebelahku, membuat Rani jadi pindah ke kursi belakang yang memang kosong.

Heran, kenapa tidak seorang pun yang berusaha ngusir Dilan? Nandan sebagai dirinya Ketua Murid, cuma bisa diam saja. Sejujurnya, aku sendiri merasa risih dengan adanya Dilan. Tapi mau gimana lagi.

Dilan minta kertas, aku kasih. Di kertas itu, dia nulis:

Informasi:
Daftar orang-orang yang ingin jadi pacarmu:

1.    Nandan (Kelas 2 Biologi)
2.    Pak Aslan (Guru Olah Raga)
3.    Tobri (Kelas 3 Sosial)
4.    Acil (Kelas 2 Fisika)
5.    Dilan (Manusia)

Aku senyum membacanya. Kemudian kulihat dia mencoret semua nama di daftar itu, kecuali nama dirinya.
"Kenapa?" kutanya.
"Semuanya akan gagal." dia bilang begitu dengan berbisik.
"Kecuali kamu?"
"Iya. Doain."

Kawan-kawanku sibuk dengan dirinya sendiri, seolah-olah tidak merasa terganggu oleh adanya Dilan, meskipun aku yakin mereka pasti gak suka. Kulihat Nandan, duduk terus di bangkunya, seperti orang bingung yang gak suka ada Dilan, tapi tidak tahu harus berbuat apa.

Pak Atam, guru pelajaran Bahasa Indonesia, sudah datang masuk kelas, tapi Dilan tidak pergi. Tetap duduk. Edan ini orang, pikirku! Dilan benar-benar ikut pelajaran Pak Atam. Sambil berbisik, aku ngomong ke dia:
"Nanti kamu dialpain di kelasmu."
"Gak apa-apa." jawabnya, seraya tetap memandang ke depan, menyimak pelajaran, sampai akhirnya Pak Atam tahu ada seorang penyelundup:
"Kenapa di sini?" Pak Atam nanya.
Kawan-kawan sekelas memandang semua ke arah Dilan. Muka mereka seperti puas karena akhirnya Pak Atam tahu dan menegurnya.
"Salah masuk, Pak! Maaf!!" jawab Dilan sambil beranjak dari duduknya dan pergi diiringi tatapan Pak Atam yang tidak respek kepadanya.

16

Waktu bubar sekolah, Dilan nyusul dan bilang:
"Aku mau datang ke rumahmu. Malam ini."
Hah? Aku kaget.
"Jangan!"
"Kenapa?"
"Ayahku galak."
"Menggigit?"
"Serius."
"Aku tidak takut ayahmu."
"Jangan! Pokoknya jangan."
"Aku mau datang." katanya, sambil berlalu.
"Jangan ih!" tanpa sadar aku bicara agak teriak. Aku jadi merasa malu sambil kupandang ke banyak arah, berharap tak ada orang yang denger.

17

Aku belum ngantuk, masih terus ingin nulis. Suamiku masih juga belum pulang. Mick Jagger, bersama Rolling Stonesnya, sudah habis. Giliran Bob Dylan yang nyanyi. Sampai mana ceritanya?

Oh ya. Dilan datang! Benar-benar dia datang. Itu kira-kira pada pukul tujuh malam. Awalnya kudengar suara motor, masuk ke halaman rumahku. Aku yang sedang makan malam, langsung bisa yakin, tidak salah lagi, itu pasti Dilan.

Aku lekas masuk kamar bersama piring makan malamku dan bersama perasaan yang tidak karuan.

Biasanya ayahku jarang di rumah, sudah hampir tiga hari ini dia cuti. Malam itu, dia sedang ada di ruang tengah, sibuk membetulkan radio CB-nya. Ibuku juga di sana, sedang mencatat urusan kegiatan semacam Dharma Wanita, Bhayangkara atau apalah.

Jika bel berbunyi, maka salah satu diantara merekalah yang akan membuka pintu. Menyambut Dilan, kalau benar tamu itu adalah Dilan. Ya, Tuhan, bisikku dalam hati. Kututup kepalaku dengan bantal sambil tiduran di kasur.

Entah siapa yang buka pintu, aku gak tahu. Pasti ada dialog di sana, tapi tidak bisa kudengar. Aku ingin tahu. Aku merasa akan lebih baik jika tetap diam di kamar. Tidak lama kemudian, terdengar lagi suara motor itu, keluar dari halaman rumahku. Ya, jika itu Dilan, dia sudah pergi.

Dengan aneka macam pikiran yang memenuhi kepalaku, aku duduk di kursi belajarku, meneruskan makan malam sampai habis dan lalu keluar dari kamar untuk menyimpan piring makanku.

Selesai dari gosok gigi, pas aku mau kembali ke kamar, telepon rumahku berdering. Aku lebih dekat ke tempat telepon, sehingga aku yang ngangkat dan itu adalah telepon dari Dilan, buatku, untuk yang pertama kalinya.

Tidak usah ditanya bagaimana Dilan tahu nomor telepon rumahku. Kukira dia banyak akal.
"Hallo?" kusapa yang nelepon.
"Selamat malam."
"Malam."
"Bisa bicara dengan Milea?"
"Iya, saya."
"Oh. Aku Dilan."
"Hey." Mendadak jantungku langsung deg-degan.
"Milea bisa bicara dengan aku?"
"Iya bisa."
"Tadi aku datang."
"Iya."
"Kau tahu?"
"Tahu."
"Kau tahu kenapa aku datang?"
"Kenapa?"
"Kalau aku gak datang, gara-gara kamu bilang ayahmu galak, berarti aku pecundang."
"Iya."
"Lebih baik aku datang. Kalau nanti dimarah, itu bagus, kamu akan kasihan ke aku."
"he he."
"Kasihan gak?"
"Tadi dimarah?"
"Enggak."
"Syukurlah."
"Tadi, ayahmu bilang, kamu sudah tidur."
"Oh."
"Kenapa sekarang bisa ngomong? Kamu ngigau?"
"Iya."
"Ha ha ha ha ha." Dilan ketawa.

Sebenarnya aku juga ingin ketawa, tapi pasti kutahan. Boro-boro ketawa, bicaraku juga sebisa mungkin kubikin singkat-singkat. Entah mengapa, aku merasa gak enak, kuatir ayah dan ibu dengar. Seolah saat itu aku merasa bahwa mereka akan marah kalau tahu itu telepon dari Dilan, meskipun belum tentu mereka akan begitu.

Selesai nerima telepon, aku langsung ke kamar lagi. Sebelumnya ayahku nanya, telepon dari siapa, aku jawab dari Beni. Dan di kamar, selain kupakai untuk menyelesaikan tugas PR, sebagian otakku kugunakan untuk memikirkan dialog terakhir dengan Dilan di telepon:
"Boleh aku meramal?" Dilan nanya.
"Iya."
"Iya apa?"
"Boleh."
"Aku ramal, nanti kamu akan menjadi pacarku!"
"He he he."
"Percaya tidak?"
"Musyrik."
"Ha ha ha."
"He he he."
"Hey, Milea."
"Iya."
"Kau tahu kenapa aku tidak langsung jujur saja bilang ke kamu bahwa aku mencintaimu?"
"Enggak."
"Padahal kalau mau, aku bisa. Itu gampang."
"Terus? Kenapa?"
"Kalau langsung, gak seru. Terlalu biasa."
"He he he."
"Nanti kalau kamu mau tidur, percayalah aku sedang mengucapkan selamat tidur, dari jauh. Kamu gak akan denger."
"He he he."

Di atas kasur, selagi mau tidur, aku dilanda kebimbangan, haruskah terus terang, bilang ke Dilan, bahwa aku sudah punya pacar? Iya, kayanya harus. Biar sejak itu, Dilan akan berhenti mengejarku.

Biar Dilan tidak akan lagi membuat kejutan-kejutan, yang kalau aku harus jujur, sebetulnya aku juga suka. Seru!
Tidak, kayanya tidak. Enggak usah aku bilang. Biarin saja. Aku merasa, sejak ada Dilan di dalam hidupku, ah, susah kukatakan dengan kata-kata.

Atau haruskah aku bilang ke Beni, bahwa ada orang di Bandung, satu sekolah denganku, namanya Dilan, sedang berusaha mendekatiku? Kayanya jangan, aku tahu Beni, jika kukatakan, justeru malah akan nambah masalah dari pada berusaha menyelesaikannya. Aduh, Beni, aku yakin kamu tidak akan bisa menolongku!

Lebih baik aku tidur. Di luar turun hujan. Kamu dimana sekarang, Dilan? Hati-hati kalau di jalan. Ku tutup mataku dengan bantal dan: "Selamat tidur juga, Dilan."

18

Aku baru selesai dari kantin, bersama Nandan, Hadi dan Rani. Tak ada Dilan. Dia jarang ke kantin. Aku sendiri juga heran, kalau memang benar dia sedang mengejarku, kenapa tidak pernah ke kantin menemuiku? Kenapa lebih memilih kumpul bersama teman-temannya di warung bi Eem?

Kenapa tidak berusaha bisa duduk di kantin denganku. Bicara denganku, setidaknya dengan itu, aku bisa tahu langsung darimu, benarkah kamu suka nge-ganja seperti yang di katakan oleh Nandan dan Dito? Benarkah kamu suka minum-minuman keras, seperti yang dikatakan oleh Nandan, Erfan dan Rani? Benarkah kamu playboy, punya banyak pacar, seperti yang dikatakan oleh Nandan?

Aku tidak bermaksud mau ikut campur urusanmu, Dilan. Siapalah aku ini. Tetapi rasanya hampir setiap hari aku selalu mendapat informasi yang buruk tentangmu. Aku ingin tidak percaya.

Tetapi jika memang itu benar, ya sudah, aku jadi tahu siapa dirimu dan bagaimana harusnya aku bersikap kepadamu, itu pilihanku. Kamu bukan pacarku, apa urusanku memikirkan dirimu, tapi aku tidak tahu, Dilan, mengapa aku ingin tahu.

Ah, Tuhan! Kenapa aku jadi begini?

19

Dari kantin, sebelum mau masuk ke kelas, aku berpapasan dengan Dilan dan kawan-kawan. Pasti baru datang dari warung bi Eem.
"Milea!" dia manggil dan mendekat.
"Ya?"
"Boleh gak aku ikut pelajaran di kelasmu lagi."
"Kamu mau bikin aku senang?"
Kupandang matanya, hampir-hampir gak percaya bahwa aku bisa nanya seperti itu kepadanya.
"Iya?"
"Ikuti mauku."
"Apa itu, Milea?"
"Jangan!"
"Oh. Oke, kalau begitu."

Dia pergi. Aku masuk kelas untuk mengikuti pelajaran berikutnya. Itu adalah pelajaran Pendidikan Moral Pancasila, nama gurunya Ibu Sri, aku masih ingat.

Bukan ibu Srinya yang kuingat, tapi kejadiannya, yaitu selagi Ibu Sri sedang menjelaskan materi pelajaran, papan pembatas kelas itu tiba-tiba roboh, jatuh ke arah kami.

Ibu Sri lari sambil teriak: "Allahuakbar!!"
Semua orang juga lari, berusaha menghindar ke arah bangku di bagian paling belakang.

Dari sana, bisa kami saksikan sendiri, bagaimana papan pembatas kelas itu roboh bersama dua orang yang masih menggantung di atasnya, seperti sedang menggulingkan papan tulis.

Kedua orang itu adalah: Piyan dan Dilan!
Sejak itu, kami bisa melihat wajah-wajah siswa di kelas 2 Fisika 1 pada melongo semua.

Bagaimana itu bisa terjadi? Aku dapat penjelasan langsung dari Dilan setelah beberapa bulan kemudian. Katanya, waktu itu, di kelas sedang tidak ada pelajaran, gurunya tidak datang karena sakit. Dia dan piyan, berusaha naik ke atas pembatas kelas, untuk mencapai lubang pentilasi yang ada di tembok bagian atas.
"Ih! ngapaiiiin?" kutanya.
"Ngintip kamu ha ha ha ha."
"Ha ha ha ha."
"Resiko tinggi mencintaimu."
"Ha ha ha."

Tapi itulah yang terjadi. Mau gimana lagi. Wati teman sekelasku, mungkin jengkel. Dia hampiri Dilan, dan melemparkan buku pelajaran ke arahnya, sambil ngomong:
"Maneh wae, Siah!" Itu bahasa sunda, kira-kira artinya: "Elu lagi! Elu lagi!"

Dilan tak melawan. Aku langsung ingin tahu, siapa Wati sebenarnya? Kenapa dia berani kepada Dilan? Dan Dilan diam saja. Selidik punya selidik, ternyata ibunya Wati adalah adik dari Ayahnya Dilan. Ya, tuhan, kenapa aku baru tahu?

Dilan dan Piyan, dibawa ke ruang guru!
Anehnya aku tidak cemas. Anehnya aku percaya, Dilan pasti bisa menghadapinya dengan tenang.

Tapi sejak peristiwa itu, selama dua hari, aku tidak lihat Dilan di sekolah dan juga di mana pun. Mungkin dia sakit. Mungkin dia diskors. Aku tidak tahu. Aku ingin tahu. Tapi bingung bagaimana caranya? Nanya ke Nandan atau Rani, kuatir akan nyangka yang bukan-bukan. Nyangka aku perhatian atau apalah, meskipun iya begitu, tapi mereka jangan tahu.

20

Keinginanku bisa ke kantin berdua dengan Wati, akhirnya kesampaian. Di kantin, ada Nandan, Rani dan Jenar ingin gabung, makan satu meja dengan kami, tapi kubilang aku ada urusan dengan Wati. Untung mereka ngerti.

Pasti kamu tahu, tujuanku ngobrol dengan Wati. Meskipun malu, harus kuakui, bahwa dari wati, aku ingin dapat informasi lebih banyak tentang Dilan. Maksudku, ini menyangkut tentang banyak informasi buruk yang kudapat tentang Dilan. Aku ingin tahu semuanya, apakah semuanya itu benar?

Bukan mau ikut campur. Aku mengerti, hidup Dilan urusannya. Bagaimana pun dirinya, apalah urusanku dengan itu. Aku bukan siapa-siapanya. Aku bukan pacarnya. Tapi, pengetahuanku tentang Dilan, bagiku, bisa sangat membantu untuk bagaimana harusnya aku bersikap kepadanya.

Atau, entahlah, aku sendiri tidak mengerti, apa sesungguhnya yang membuat aku jadi begitu. Jadi seperti detektif yang ngorek-ngorek informasi orang lain. Tapi, cobalah kamu jadi aku, aku yakin kamu juga akan melakukan hal yang sama.

Aku duduk berdua dengan Wati, agak di dekat jendela. Aku harus hati-hati, jangan sampai Wati tahu tujuanku. Setelah ngobrol tentang hal lain yang gak penting, aku mulai berusaha mengarahkan pembicaraan supaya membahas pada pokok yang kumaui:
"Eh, ngomong-ngomong, kemarin, waktu si Dilan jatuh, kamu lempar dia pake buku, kok kamu berani sih?"
"Oh? ha ha ha. Beranilah! Habisnya kesel. Dia itu nakal tahu? Di rumahnya juga begitu!"
"Kamu saudaraan ya?"
"Iya, ibuku kan adik ayahnya."
"Oh, pantes! Enggak. Kaget aja, pas lihat kamu berani mukul dia ha ha ha."
"Habisnya kesel. Nakal dia itu."
"Nakal gimana?"
"Ah, banyak! Pernah tuh, waktu malam minggu, kapan ya, pokoknya dia motong ayam ibuku, diambil di kandang gak bilang-bilang."
"Oh ya?"
"Disate tau gak?! Dimakan sama temen-temennya di belakang rumah dia!"
"Ha ha ha. Mabuk-mabukan ya?"
"Enggaklah!"
"Tahunya enggak?"
"Tahu aja."
"Ngambil ayam ibu kamu? Kok berani?"
"Pas ditegur ibuku, dia bilangnya salah ngambil, gelap, gak kelihatan."
"Ha ha ha."
"Padahal, kamu tahu gak? Ayahnya itu galak. Tentara."
"Oh ya?!"
"Iya."
"Kecabangan apa?"
"Gak tahu tuh. Gak ngerti."
"Si Dilan pasti pacarnya banyak tuh!"
"Ah, siapa? Kayanya gak punya pacar dia mah? Terlalu cuek ke cewek!"
"Mungkin masih lebih suka main sama kawan-kawannya."
"Iya kali."
"Emang belum punya pacar?"
"Enggak tahu tuh. Eh, kok jadi ngomongin si Dilan sih?!"
"Iya ha ha ha. Wat, aku pengen main dong ke rumahmu?"
"Boleh aja. Kapan?"
"Nanti deh, aku bilang dulu ke nyokap."
"Hayu."

Yes! Yes! Yes! Aku mauu, Wati. Nanti kita ngobrol yaaaaa!!!

((21))

Dilan kulihat sekolah lagi. Tapi sejak itu, selama tiga hari, tidak ada gerakan apa-apa dari Dilan yang bersangkut paut dengan diriku. Bahkan sampai sehari menjelang ulang tahunku, Dilan kayanya bersikap biasa saja.

Aku sempat berfikir, jangan-jangan Dilan malu oleh kejadian robohnya papan pembatas kelas. Atau, mungkin dia sudah tidak mau lagi denganku. Atau apa? Aku gak tahu! Termasuk aku gak tahu kenapa hal itu membuat aku jadi sedih!

Meskipun tidak kurayakan ulang tahunku, tapi banyak kawan-kawan yang pada ngasih kado, termasuk Nandan. Dia ngasih boneka panda yang cukup besar. Boneka itu di bungkus dalam plastik, dengan ujungnya yang di ikat pita merah. Nandan ngasih kado itu di kelas, pada waktu istirahat:
"Selamat ulang tahun, Milea. Panjang umur ya. Kadonya boneka, biar apa coba?"
"Biar apa?" Aku senyum.
"Biar kalau tidur, kamu bisa memeluknya."
"Ih." aku senyum lagi.

Mungkin dia bercanda, atau mungkin juga serius, tapi yang pasti, mendengar Nandan bilang begitu, kawan-kawanku yang saat itu ada di kelas, pada teriak:
"Asik euy!!!"
"Suit-suit!!"

Apa siiih. Biasa aja! Cuma kado panda, kalau ada uangnya, semua orang bisa beli. Meluk boneka, mau bentuknya panda mau monyet, bagaimana bisa kurasakan seolah aku sama sedang memeluk orang yang memberinya? Mungkin ada yang bisa begitu, tapi aku tidak, kecuali boneka itu bikinan sendiri.

Dan Beni, sengaja datang ke Bandung, demi untuk merayakan ulang tahunku. Dia kerumah pada pukul dua belas malam, bersama empat orang temannya, Adit, Bram, Lilo dan Ical. Beni memberiku seikat rangkaian bunga yang indah. Warna-warni dan harum baunya.

Itu bunga kasih sayang katanya, sambil mengecup keningku. Dia juga membawa kue ulang tahun, yang kami nikmati di ruang tamu, setelah sebelumnya ada perang colek-colekan krim kue yang seru. Beni pulang ke Jakarta, satu jam kemudian.

Dilan? Pada harinya, dia tidak memberiku ucapan ulang tahun. Aku sempat curiga, jangan-jangan Dilan gak tahu ulang tahunku. Mana? Katanya kamu akan segera tahu hari ulang tahunku?

Kamu tahu tidak, Dilan? Aku sempet yakin, kamu akan menelponku tepat pada pukul 00:00, menjadi orang awal yang mengucapkan selamat ulang tahun untukku. Nyatanya tidak. Aku bingung, apakah aku harus kecewa atau tidak?

Jika aku kecewa, memang siapa diriku bagimu? Kalau tidak kecewa, tapi aku menunggu ucapanmu, Dilan. Aku tidur dalam gelombang perasaan yang kosong.

22

Hari itu, aku sedang belajar Biologi, pelajaran praktek menggambar anatomi kodok dibagi ke dalam beberapa kelompok, tiba-tiba terdengar pintu kelas ada yang ngetuk. Aku terkejut ketika tahu orang itu adalah Dilan.

Untunglah gurunya Pak Rahmat, dan Dilan juga kayanya tahu, Pak Rahmat baik, sehingga barangkali itulah maka dia jadi berani. Atau, itu cuma kebetulan.
Kukira, dia pasti akan berani meski siapa pun gurunya.
"Permisi, Pak?"
"Iya?" jawab Pak Rahmat yang sedang duduk di kursi guru.
"Maaf. Ada titipan penting buat Milea"
"Oh. Iya. Silahkan."

Dilan masuk, mendatangiku, dilihatin oleh hampir semua orang yang ada di kelas. Bungkusan yang dibawanya, entah apa itu, dia berikan kepadaku sambil menjabat tanganku:
"Selamat Ulang Tahun, Milea."
"Makasih, Dilan." aku senyum. Aku memandang matanya sebagaimana ia juga kepadaku!

Habis itu, dia pergi seraya pamit kepada Pak Rahmat. Heran, aku merasa tidak malu. Heran, aku justru malah bangga. Terimakasih, Pak Rahmat yang baik, guruku yang tua dan pendiam. Aku tidak ingin bilang bagaimana sikap Nandan saat itu, kau tebaklah sendiri.

Jika hari itu ada yang bilang bahwa hatiku berbunga-bunga, aku langsung akan setuju. Aku senang, hari itu, ah, entah bagaimana kukatakan, pokoknya itu adalah hari pertamaku memegang yangan Dilan! Atau, hari itu adalah hari pertama Dilan memegang tanganku!

23

Jangan diganggu. Aku lagi dikamar, sendirian, membuka kado Dilan. Tak sabar rasanya ingin tahu apa isinya. Bungkus kadonya dipenuhi oleh gambar yang dibikin dengan menggunakan spidol warna-warni, entah siapa yang bikin. Mungkin dia. Mungkin nyuruh kawannya yang jago gambar.

Pelan-pelan kusobek ujung dari pembungkus kado itu. Dan, mari kuberitahu apa isinya: Satu buah TTS!!! 
Sama, aku juga terkejut. Kenapa TTS?
Kubuka-buka, barangkali TTS itu cuma hal lain dari inti kado yang sesungguhnya.

TTS nya udah diisi semua. Sudah dijawab semua, entah benar atau tidak. Belum sempat kuperiksa, sudah kudapati di tengahnya ada selembar kertas putih. Ukuran A4 dengan tulisan tangan Dilan yang bagus:

SELAMAT ULANG TAHUN, MILEA.
INI HADIAH UNTUKMU, CUMA TTS.
TAPI SUDAH KUISI SEMUA.
AKU SAYANG KAMU.
AKU TIDAK MAU KAMU PUSING
KARENA HARUS MENGISINYA.

DILAN!

24

Hari-hari berikutnya, ada yang lain dari Dilan. Aku merasa Dilan berubah. Seperti menjauh. Bahkan sudah masuk kategori boleh kuanggap sombong.

Tak ada lagi hal yang ia lakukan untukku, sebagaimana selalu kudapatkan sebelumnya. Dia tidak pernah ke kantin, sehingga kalau di sekolah, hanya sesekali saja aku bisa melihatnya, dan itu pun dari jauh.

Aku tidak tahu, mengapa dia jadi gitu?
Aku tidak merasa perlu bertanya kepada Wati, karena Wati pasti akan menjawab tidak tahu. Itu urusan Dilan.

Pada kesempatan bertemu Piyan, kuberanikan diriku minta waktunya Piyan untuk ngobrol denganku. Boleh, katanya.

"Tapi jangan sampai Dilan tau."
"Kenapa memang?" Piyan senyum.
"Nanti deh aku cerita."
"Sip!"

25

Akhirnya aku bisa ngobrol dengan Piyan, pada waktu istirahat, di tempat tukang photo copy yang ada di luar sekolah. Aku ceritakan semuanya, dari mulai awal aku bertemu Dilan, sampai tentang banyak hal yang sudah ia lakukan untuk "mendekati"ku. Piyan ketawa. Sama, aku juga ketawa.

"Tahu gak, Mamaku ketawa, pas aku ceritain soal dia ngasih TTS buat hadiah ulang tahunku." kataku kepada Piyan.
"Si Gelo!"
"Ha ha ha ha. Dia pernah ngasih coklat ke aku. Tahu siapa yang nganterinnya?"
"Siapa?"
"Tukang koran ha ha ha! Yang suka datang ke rumah nganterin majalah langganan."
"Ha ha ha."
"Yang nerimanya si Bibi!"
"Hah? Ha ha ha terus?"
"Pas dia tahu tukang koran itu ngasih coklat buat aku, si Bibi pastilan nanya dari siapa?"
"Apa kata tukang koran?"
"Dari Dilan, penjaga Milea ha ha ha!"
"Anjrit! ha ha ha."
"Ada lagi! Ada lagi!"
"Apa?"
"Kan dia nelpon........"
"Ya?"
"Yang nerima si Bibi."
"Terus?"
"Dia malah ngobrol, sama si Bibi...coba!
Bukannya langsung bilang mau bicara sama aku."
"Skandal! Ha ha ha. Ngobrol apa?"
"Kata si Bibi sih, dia ngaku teman aku, dan tukang ramal. Ngaku bisa tahu angka berapa judi Porkas besok keluar."
(Porkas itu semacam judi yang dilegalkan oleh pemerintah zaman Orde Baru. Konon, untuk membantu kegiatan olah raga di tanah air. Sekarang sudah tak ada.)
"Ha ha ha berapa katanya?"
"Ah, paling juga dijawab ngawur. Terus, dia bilang, sampaikan ke Lia, kalau sholat harus menghadap kiblat."
"Ha ha ha ha."
"Ada lagi! Ada lagi!"
"Banyak amat!"
"Banyak, Piyaaaan!"

Terus kenapa sekarang Dilan berubah, Piyan? Kenapa dia jadi sombong, Piyan? Si Piyan bilang tidak tahu. Tapi kemudian dia cerita, bahwa Dilan sering cerita soal aku. Ah, aku senang pas dia ngomong bagian yang ini.

"Nah, soal dia berubah, apa ya? Dia pernah bilang sih: Jangan diganggu Milea. Dia sudah pacaran sama Nandan?"
"Hah? Apa?"
"Iya. Dia bilang gitu. Menurutku sih kayanya gara-gara itu deh. Bisa jadi."
"Kok? Enggak ih!! Kok dia bisa bilang begitu?"
"Enggak tahu. Dilan bilang ke aku sama si Ajun, katanya, sudah jangan diganggu."
"Iiihh, enggak, Piyan ih! Bilangin ke dia!"
"Bilang gimana?"
"Aku enggak pacaran sama Nandaan!!"
"Ya, udah, nanti aku bilang!"
"Harus, Piyan! Jangan lupa sampaiin. Tolong ya, Piyan!"

26

Aku tahu sekarang. Pantesan Dilan jadi gitu! Aku enggak pacaran sama Nandan, Dilan! Emang siapa sih yang bilang, sampai kamu bisa ngomong begitu? Pokoknya Piyan harus menyampaikan kepadanya bahwa aku tidak pacaran sama Nandan! Titik! Wajib!

Sejak itu, mulai besoknya, aku sudah tidak pernah ke kantin lagi bareng-bareng dengan Nandan. Setiap hari, selalu kuusahakan punya alasan untuk menolak ajakan Nandan pergi ke kantin. Sampai-sampai kalau pas istirahat aku lebih sering memilih untuk diam di kelas.

Jengkelnya kalau Nandan sudah ikut-ikutan diam di kelas, aku jadi pura-pura pergi ke toilet atau kemana lah yang penting terhindar dari gosip bahwa aku pacaran sama Nandan. Ya, Nandan pasti ngerasa aku berubah. Ya, aku juga kasihan ke dia. Tapi biarin! Asal jangan Dilan yang berubah ke aku!

Bagaimana dengan Beni? Ya, aku pacaran dengan dia. Tapi, aku mau ke dia karena dulu belum tahu bahwa di dunia ini ada Dilan! Mengerti kaaan? Selama cuma pacaran, kukira, aku masih punya hak untuk memilih, sampai bisa kudapati orang yang pantas kunikahi! Coba jadi aku deh, biar bisa kau maklumi.

27

Hari itu adalah hari sabtu, belajar di kelas di tiadakan, karena ada acara seleksi pemilihan siswa terbaik, yang akan mewakili sekolah menjadi peserta Cerdas Cermat di TVRI. Acara itu di selenggarakan di aula sekolah.

Pesertanya diambil dari tiap kelas, sebanyak tiga orang, yaitu mereka yang tercatat sebagai siswa yang selalu mendapat rangking 1, 2 dan 3. Diambil dari kelas Sosial, Biologi dan Fisika. Di kelasku yang terpilih adalah Gatot, Enjang dan Warti. Mau tahu tidak, siapa siswa yang ditunjuk dari kelas 2 Fisika 1?
Dia adalah: Dilaaaaaaaann!! Yeeeeee!!! Dan dua orang lagi yang aku sudah lupa namanya. Masing-masing dicampur menjadi beberapa group.

Ketika acara itu dimulai, aku nonton sedikit agak di depan, ah kau taulah kenapa. Aku bisa puas melihat Dilan dari agak sedikit dekat, meskipun, aku GR sedikit ya, aku takut kalau Dilan tau ada aku, nanti akan membuatnya grogi. Nyatanya tidak, kulihat dia biasa saja.

 Itu acara yang seru. Satu sesi menampilkan 3 group. Group A, B dan C. Ketika giliran groupnya Dilan, aku langsung degdegan! Serius! Sangat berharap groupnya Dilan akan menang dan terpilih! Tapi pas selesai babak satu, babak dua dan tiga, hasil perhitungan nilai menunjukan groupnya Dilan dapat posisi ke dua. Aku sedikit kecewa.

Aku berharap, groupnya Dilan bisa mengejar ketinggalan pada sesi pertanyaan rebutan. Itu adalah sesi di mana Sang Penanya akan memberikan pertanyaan kepada siapa saja, dan yang bisa lebih dulu memijit bel, akan mendapat kesempatan untuk menjawab. Resikonya adalah, jika jawaban itu salah, maka akan dikurangi nilainya.

Dari jauh aku bisa lihat Dilan nampak terlihat tenang. Iya, bagus, Dilan, harus gitu! Jadikan ini hari terbaikmu! Tetap semangat. Doaku selalu menyertaimu. Begitulah aku hari itu. Repot dengan diriku sendiri. Lebih repot dari mereka yang lebih pantas untuk repot. Biariiiiiin!

Sesi pertanyaan rebutan dimulai. Sang Penanya mengajukan pertanyaan: "Siapa menteri Agama Kabinet Pembangunan V?" Aku senang, pas tahu Dilan berhasil mijit bel lebih dulu. Yes! Dilan pasti tahu!

Tapi apa jawaban Dilan waktu itu?: "Mahatma Gandhi!" 
Aku langsung kecewa! Bukan ih!! Munawir Sadjali, Dilaaaaaann!! Aku langsung curiga, dia pasti sengaja! Pasti!!!

Semua orang ketawa, bahkan ada yang sampai terkekeh-kekeh. Tentu saja, karena penonton juga tahu, Mahatma Gandhi itu bukan Menteri Agama, tapi seorang Penggerak Kemerdekaan India!

Kalau aku pernah sangat jengkel ke Dilan, maka itulah harinya! Tapi, asli, ini adalah kenangan lainnya dari dia yang tidak bisa kulupakan.

Tidak cuma itu! Waktu ada pertanyaan: "Jelaskan latar belakang pergeseran kekuasaan yang membentuk undang-undang dari Presiden menjadi kewenangan DPR?"
Tahu apa jawaban Dilan? Setelah dia berhasil bisa mijit bel lebih awal? Dia menjawab dengan tenang: "Tidak tahu, Pak!"

Semua orang ketawa. Aku tidak! Serius, aku tidak! Aku justeru jengkel ke dia. Ya, udah, Dilan, kalau memang tidak tahu, jangan dijawab ih! Jadi aja nilaimu terus dikurangi dan akhirnya group kamu kalah! Gak jadi deh masuk teve. Aku pandang dia dari jauh, tapi itu adalah pandangan yang gemas!

Tapi biar bagaimana pun, itu adalah harinya, di mana dan kapan pun, setiap aku mengingatnya, aku akan langsung tersenyum.

28

Seandainya semua anggota geng motor seperti Dilan, atau minimal Piyan, maka tidak akan ada seperti si Anhar dan si Kusnadi. Anhar itu anak kelas 3 Sosial. Temannya Dilan, satu komplotan, sama-sama gengster, sama-sama suka kumpul di warung bi Eem.

Anhar suka petantang petenteng, seolah-olah, baginya, hanya dirinyalah yang paling jago di dunia dan akhirat. Truoblemaker dan konon diam-diam, bersama si Engkus, suka malakin anak-anak kelas satu.

Malahan ada info dari Rani, katanya, Anhar itu pernah ditahan polisi karena melakukan tindakan kriminal di jalan. Memalukan! Menjijikan! Tidak elegan! Menghancurkan citra korpsnya sendiri. Memanfaatkan nama kelompoknya hanya untuk kepentingan pribadi dan untuk merasa puas bisa menekan siapa pun yang dia anggap remeh!

Di sini, aku sedang tidak ingin membela Dilan, seolah aku sedang berusaha menyampaikan bahwa Dilan itu orang suci. Tidak sama sekali. Aku juga tahu Dilan suka berantem. Aku juga tahu bahwa Dilan pernah diskors, sebelum aku pindah ke Bandung, karena terlibat tawuran.

Kau boleh bilang bermilyar-milyar kali bahwa Dilan itu anak nakal, gengster brengsek, atau yang lebih buruk dari itu. Itu hakmu. Tapi bagiku, Dilan berbeda dengan Anhar dan Engkus. Ini aku bilang dengan melepas perasaanku kepadanya, biar sedikit bisa objektif.

Sebetulnya, ingin juga kujelaskan, kepada siapa pun, di sini, bahwa jika Dilan berantem, sesungguhnya itu lebih disebabkan oleh karena ia ingin membela harga dirinya, dan kehormatannya. Tapi kayanya percuma, sebab aku yakin kamu tidak akan percaya.

Sebelum aku datang, kata Wati, Dilan pernah berantem dengan anak kelas 3. Gara-garanya disebabkan oleh karena orang itu bilang ke Dilan, waktu Dilan melewati mereka yang sedang nongkrong, (kelak di kemudian hari, Dilan menjelaskannya kepadaku dengan detail):

"Tong mentang-mentang Anak Kolong lah! Biasa weh! Teu sieun!"
Bahasa sunda, kira-kira artinya: "Jangan mentang-mentang Anak Kolong lah! Biasa aja! Gak takut!" (Anak Kolong adalah sebutan untuk mereka yang ayahnya tentara)
"Kenapa kamu ngomong gitu?" Dilan menghampiri orang itu.
"Naon ieu teh?" si orang itu balik nanya ("Apa sih ini?")
"Kenapa kamu ngomong gitu?"
"Ngomong naon?" si orang itu masih juga balik nanya ("Ngomong apa? Enggak.")
"Kenapa kamu ngomong gitu?" Dilan masih dengan pertanyaan yang sama.
"Naon, Anjing!" ("Apa, Anjing!?") si orang itu akhirnya berdiri dan mulai merangsek.

Dilan kemudian menghajarnya, dan terjadilah baku hantam. Konon, diawali dengan adanya kejadian itu, Dilan pernah di rawat di rumah sakit Boromeus, katanya di ruang Yosep, kamar 1520, dan koma selama 1 hari, akibat terkena tusukan di perutnya.

Itu terjadi di daerah jalan Merdeka, sekarang Bandung Indah Plaza (BIP). Aku pernah melihat bekas jahitan di perutnya. Dicurigai sebagai balasan yang harus Dilan terima. Tapi entahlah. Kasus ini tidak pernah diusut sampai tuntas. Pelakunya tidak pernah terungkap!!!

29

Aku yakin, kepada Anhar, Dilan tidak pernah membicarakan soal dirinya menyukaiku. Karena kalau Anhar tahu, dia pasti tidak akan berani menggodaku. Sekali waktu, dia pernah nelpon ke rumahku, entah dapat nomor dari mana.

"Aku suka merhatiin kamu lho?"
"Oh ya? Kenapa?"
"Kamu cantik lah."
"Kamu temenan sama Dilan?" aku nanya.
"Iya. Kenapa gitu?"
"Salam buat dia!"
"Pengen ya ke Dilan?"
"Menurutmu?"
"Suka ya?"
"Tanya aja dia."
"Nanti deh aku tanyain."
"Tanyalah."
"Eh Milea, boleh gak, aku pinjem jaketmu? Biar kalau kupake jadi kerasa dipeluk kamu."
"Norak tahu!"
"Tapi kamu suka kan?"
"Alhamdulilah enggak."

Obrolan yang sangat membosankan!
Cowok macam apa pengen make jaket cewek! Katanya gengster, tapi obsesinya malah pengen jadi waria.

30